Sejarah Singkat STIKKU – Perubahan iklim global, kerusakan lingkungan hidup, serta perkembangan sosial yang melahirkan berbagai gaya hidup yang tidak sehat telah mendorong timbulnya berbagai masalah kesehatan yang semakin kompleks, baik pada level individu, keluarga, masyarakat, maupun pada tingkat global. Kondisi ini semakin jelas dengan dipicu oleh adanya transisi demografi dan epidemiologi, dimana kini hampir di semua negara di dunia memiliki angka harapan hidup yang semakin tinggi sehingga melahirkan ledakan penduduk usia lanjut (lansia) dengan berbagai masalahnya serta melahirkan berbagai penyakit-penyakit baru baik penyakit infeksi (HIV-AIDS, Ebola, Demam Berdarah Dengue, SARS, Aviant Influenza, dll) maupun penyakit degeneratif (diabetes, jantung koroner, stroke, hipertensi,osteoporosis, Alzheimer, serta penyakit-penyakit imunologis rheumatoid arthritis, multiple sclerosis,lupus eritematosus, dll. Kondisi ini tentu saja menjadi peluang bagi tenaga kesehatan khususnya di bidang keperawatan untuk menjadi bagian yang terintegrasi dalam sistem upaya kesehatan baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Karena itu keberadaan perawat profesional (Ners) di masa yang akan datang merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka penyediaan pelayanan keperawatan yang holistis, komprehensif, dan berkualitas.
Demikian halnya dengan kondisi di Indonesia dimana salah satu indikator dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yaitu Indeks Kesehatan yang terdiri dari Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia yang masih tergolong tinggi. Berdasarkan SDKI 2003, AKI di Indonesia mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup. Menurut Direktur Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan (2006), pada tahun 2005 AKI di Indonesia berada pada angka 290,8 per 100.000 kelahiran hidup. Demikian pula Angka Kematian Bayi (AKB) masih berada pada kisaran 36 per 1.000 kelahiran hidup. Walaupun masih tinggi, namun dari tahun ke tahun, AKI/AKB di Indonesia memiliki kecenderungan menurun, dan salah satu faktor penyebabnya adalah ketersediaan Bidan Desa. Menurut Muharso (2005), keberadaan bidan desa telah terbukti memberi “daya ungkit” bagi upaya penurunan AKI/AKB di Indonesia. Bahkan Warsito (2003) menyatakan bahwa kebutuhan bidan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Bidan Desa dengan kualifikasi D3 (Ahli Madya Kebidanan) di Indonesia sampai dengan Tahun 2010 sekitar 134.653 orang. Jika saat ini diasumsikan terdapat 45 buah Akademi Kebidanan di bawah binaan Departemen Kesehatan dan sekitar 100 Akademi Kebidanan baik yang di bawah binaan Depkes maupun Depdiknas dengan daya tampung per institusi per tahun rata-rata 80 orang, maka dibutuhkan 16 tahun lagi untuk sampai terpenuhi kebutuhan bidan tersebut. Sampai saat ini berdasarkan data dari Ikatan Bidan Indonesia (2002), jumlah bidan yang ada di Indonesia sekitar 78.000 dengan komposisi 72.240 orang di antaranya merupakan lulusan pendidikan D1 Kebidanan.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuningan (STIKKU) sebagai institusi pendidikan yang peduli dengan pengembangan SDM Kesehatan merasa terpanggil untuk melahirkan Sarjana Keperawatan (Ners) dan Ahli Madya Kebidanan yang profesional yang dapat memberikan kontribusi bagi perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar global.
Pada tahap awal pendiriannya, STIKKU langsung mendapatkan kepercayaan penuh dari Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan memberikan beasiswa pendidikan kepada 30 orang siswa SMA yang berasal dari beberapa desa di Kuningan untuk dididik menjadi bidan di Program Studi Diploma III Kebidanan STIKKU. Beasiswa ini bersumber dari dana APBD Kuningan yang kemudian pada tahun 2009 diadopsi oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat melalui Beasiswa Pendidikan 1 Siklus Bidan untuk memenuhi Program 1000 Bidan dimana STIKKU juga lagi-lagi dipercaya sebagai institusi penerima beasiswa tersebut yakni 25 orang yang masing-masing diberi bantuan pendidikan sebesar Rp 40 juta per mahasiswa.